Kitab Hukum Kanonik yang tertua menyatakan bahwa hanya ada tiga uskup
yang mempunyai wewenang kepatriarkhan yaitu Uskup Roma, Aleksandria dan
Antiokhia. Penerus Rasul Petrus tentu menempati tempat tertinggi dan
merangkum di dalam dirinya semua jabatan. Ia tidak hanya adalah uskup
tetapi juga kepala otoritas gerejawi di daerah metropolitan (umum
sekarang dikenal sebagai Uskup agung), uskup tertinggi/ primat, dan
patriarkh yang utama. Setelah hirarki di antara uskup terbentuk,
otoritas tertinggi tetap ada pada Uskup Roma, yang kemudian dikenal
dengan sebutan Paus. Paus adalah kepala yang kelihatan dari seluruh
Gereja. Sebagai uskup Roma, ia memimpin keuskupan Roma; sebagai uskup
metropolitan (uskup agung) ia memimpin provinsi Roma, sebagai primat, ia
memimpin para uskup Italia; dan sebagai patriarkh ia memimpin seluruh
Gereja Barat ritus Latin; sedangkan di Gereja-gereja Timur, ia disebut
sebagai imam tertinggi (supreme pontiff).
Sebelum Konsili Nicea (325) dua uskup Timur yang mempunyai otoritas
patriarkh yang sama adalah uskup Aleksandria dan uskup Antiokhia.
Agaknya sulit dijelaskan mengapa sampai terbentuk dua daerah keuskupan
ini. Uskup Aleksandria mengepalai uskup-uskup Mesir, sedangkan Uskup
Antiokhia mengepalai uskup-uskup di Syria, Asia Kecil, Yunani dan
daerah-daerah lainnya di Timur. Selanjutnya, menjadi pandangan populer
bahwa ketiga kepatriarkh-an ini berhubungan dengan Rasul Petrus. Rasul
Petrus mendirikan Gereja di Roma; di Antiokh dan di Aleksandria melalui
muridnya St. Markus.
Setelah agama Kristen berkembang di abad ke-4, maka mulai banyak peziarah datang ke Holy Land
(Tanah Suci). Sejak saat itu Uskup Yerusalem mempunyai peran yang
penting. Konsili Nicaea memberikan penghormatan kepadanya, walau tetap
mengakui keutamaan metropolis Kaisarea, dan akhirnya melalui Juvenal
Yerusalem (420-458) posisi keuskupan Yerusalem diakui sebagai
patriarkhat. Konsili Kalsedon (451) memisahkan Palestina dan Arabia
(Sinai) dari wilayah keuskupan Antiokhia dan dari mereka terbentuklah
Patriarkhat Yerusalem (Sess. VII dan VIII).
Namun naiknya Konstantinopel ke jenjang Patriarkhat adalah sesuatu
yang menimbulkan kontroversi. Sebab pada awalnya yang yang mencetuskan
Byzantium/ Konstantinopel menjadi “Roma yang baru” adalah Kaisar
Konstantin. Sepanjang beberapa abad, para Paus menentang ambisi ini.
Paus Damasus dan Gregorius Agung menolak untuk mengakui kedudukan
Keuskupan Konstantinopel di tempat kedua setelah Roma ini. Namun
demikian Konstantinopel berkembang karena dukungan Kaisar, karena
kebijakan sentral yang menguntungkan otoritas para uskup di daerah
tersebut. Konsili Kalsedon akhirnya menjadikan Konstantinopel sebagai
patriarkhat dengan Asia Kecil dan Thrace sebagai daerah yurisdiksi, dan
memberikannya tempat kedua setelah Roma (Kan. 28). Paus Leo Agung
(440-461) menolak kanon ini, yang dibuat tanpa kehadiran utusannya, dan
selama berabad kemudian, Roma tetap menolak untuk memberikan tempat
kedua kepada Konstantinopel. Baru pada Konsili Lateran yang ke-empat
(1215) Patriarkh Latin di Konstantinopel diadakan, dan tahun 1439
Konsili Florence memberikannya kepada para patriarkh Yunani. Namun
demikian, di daerah Timur, kehendak Kaisar cukup kuat untuk menerima
pengakuan bagi kepatriarkh-annya sebagai patriarkh kedua, walaupun tidak
secara hukum. Maka urutannya menjadi Roma, Konstantinopel, Aleksandria,
Antiokhia dan Yerusalem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar