Jumat, 19 Oktober 2012

BATIK PASEBAN CIGUGUR

Jawa Barat sebagai salah satu penghasil ragam batik nusantara, kaya akan beberapa daerah penghasil batik, di antaranya Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Cirebon, Kuningan, dan Indramayu. Di kawasan utara, selain Trusmi di Cirebon, tidak ada salahnya bila kita sejenak mengalihkan pandangan ke Kuningan. Di sana kita juga dapat menemukan beragam motif batik yang tidak kalah unik dan menarik.

Cigugur, salah satu kecamatan di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Terletak di kaki Gunung Ciremai, berjarak sekitar 3 km dari Kota Kuningan, 35 km ke arah selatan Kota Cirebon, atau sekitar 170 km dari Kota Bandung. Di sanalah kita dapat menemui keunikan yang khas dari kearifan budaya lokal (Sunda) yang dituangkan dalam beragam motif batik Paseban Cigugur.

Usaha batik dan seni ukir Cigugur dikembangkan di Paseban Cigugur atas prakarsa Pangeran Djatikusumah. Tujuannya untuk mengangkat nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Cigugur. Selain merupakan simbolisasi nilai-nilai budaya lokal (Sunda) yang sudah tertanam sejak lama, motif batik Paseban Cigugur juga terilhami atau diambil dari relief lama dan seni ukir klasik yang terdapat pada ornamen gedung Paseban Tri Panca Tunggal. Demikian penuturan Pak Kusnadi (seorang pensiunan Dinas Kepurbakalaan) yang bersama-sama dengan Pangeran Djatikusumah turut memelopori pengembangan dan menciptakan motif batik dan ukir di Cigugur sejak beberapa tahun lalu.

Tanggal 15 Oktober 2006 ditetapkan sebagai peresmian lahirnya batik Paseban Cigugur. Ciri khas batik Cigugur terletak pada tarikan garis yang kuat pada motifnya. Menurut penuturan Pak Kusnadi, sampai kini telah tercipta sekitar 250 macam motif batik yang akan diperkenalkan.

Beberapa motif batik yang telah diperkenalkan sesuai dengan uraian Ibu Tati (putri dari Pangeran Djatikusumah), di antaranya adalah "rereng pwahaci (pohaci)". Motif ini merupakan simbol atau gambaran sosok perempuan Sunda yang diyakini memiliki kedudukan penting dalam kehidupan pribadi, keluarga, ataupun sosial masyarakat Sunda (pada masa pra-Islam, Sri Pohaci dikenal sebagai dewi padi). Motif lain adalah "mayang segara" yang merupakan gambaran tentang indah dan agungnya samudra luas ciptaan Tuhan. Motif ini mengandung arti hendaknya manusia mempunyai hati yang tulus seluas dan sedalam samudra.

Motif "adu manis" merupakan lambang bersatunya dua manusia yang selaras dan harmonis dalam berumah tangga, biasanya batik ini digunakan oleh pasangan pengantin pada saat upacara pernikahan. Motif "oyod mingmang" merupakan gambar rangkaian akar yang saling berkaitan sehingga membentuk suatu kekuatan dalam persatuan. Motif ini mengandung arti bahwa perbedaan yang ada hendaknya menjadi kekuatan untuk bersatu karena walaupun berbeda-beda, tetapi manusia berasal dari akar budaya dan memiliki adikodrati yang sama.

Motif "sekar galuh", sekar berarti bunga, sedangkan galuh berarti inti kehidupan. Secara filosofis sekar galuh mengandung makna bahwa manusia hendaknya melestarikan nilai-nilai adikodrati secara berkesinambungan dari generasi ke generasi. Motif "geger sunten" dapat diartikan sebagai benteng pertahanan yang mampu menahan serangan dari luar. Secara filosofis, motif ini mengandung makna bahwa manusia hendaknya mampu membentengi diri dari pengaruh-pengaruh buruk yang berasal dari luar. Pada motif "rereng kujang", kujang mengandung arti kukuh/setia pada janji. Secara filosofis, motif ini mengingatkan kita kembali pada janji yang harus kita kukuhkan kembali pada kesadaran diri sebagai manusia dan kesadaran diri sebagai bagian dari suatu bangsa.

Besarnya pengaruh budaya pada motif batik Paseban Cigugur merupakan salah satu bentuk transformasi budaya yang terjadi dalam masyarakat Cigugur. Transformasi budaya pada dasarnya merupakan upaya menemukan kembali secara lengkap wujud suatu budaya, sebagaimana saat budaya itu dibentuk. Edi S. Ekadjati (2001) berpendapat bahwa kebudayaan itu lahir seiring dengan kelahiran kehidupan manusia secara sosial karena kebudayaan adalah ciptaan atau hasil kreasi manusia sebagai makhluk sosial.

Para ilmuwan sosial mengakui bahwa budaya dan komunikasi mempunyai hubungan timbal balik, layaknya dua sisi mata uang. Sebagaimana dinyatakan Edward T. Hall (1959), yakni culture is communication dan communication is culture. Budaya merupakan bagian dari perilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan, atau mewariskan budaya. Sejalan dengan itu, Geertz (1971) mengemukakan bahwa kebudayaan adalah suatu bentuk konseptual yang objektif yang merupakan perhubungan antara pemikiran dan kenyataan yang ada di luar diri manusia. Hal ini dapat diartikan bahwa terdapat hubungan yang saling terkait di antara keduanya secara dinamis dan dialektis, yang sifatnya sebagai suatu gerak tindakan yang dihidupkan oleh proses dorongan, kesadaran, persepsi, dan kognisi para pelaku dalam situasi yang saling berhubungan. Levy-Strauss (1970) memandang kebudayaan sebagai suatu sistem simbol yang merupakan kreasi akal kumulatif dan disalurkan melalui mitos, seni, hubungan kekeluargaan, dan bahasa.

Berkaitan dengan konsep kebudayaan inilah, melalui berbagai ragam motif batik yang mulai diperkenalkan kepada khalayak luas, masyarakat Cigugur mencoba untuk mengomunikasikan eksistensinya. Berbagai simbol yang terdapat pada motif batik Paseban Cigugur merupakan visualisasi atau wujud dari sistem nilai dan kepercayaan yang berlaku dalam masyarakat Cigugur.

Seperti halnya komunikasi pada umumnya, seorang desainer atau pembuat batik sesungguhnya telah melakukan proses komunikasi yang ditujukan kepada target sasaran melalui karya cipta yang dihasilkannya. Segala sesuatu yang dapat dilihat dan dapat dipakai untuk menyampaikan arti, makna, atau pesan merupakan kekuatan utama dalam menyampaikan komunikasi visual.

Batik, dalam hal ini, menjadi media istimewa tempat suatu makna diproduksi. Setiap motif batik beroperasi sebagai simbol yang mengartikan atau merefleksikan makna yang ingin dikomunikasikan oleh pembuatnya.

Hadirnya batik Paseban Cigugur turut memperkaya khazanah batik nusantara. Tak hanya indah dan unik, tetapi juga kaya akan nilai filosofis kearifan budaya lokal yang terkandung di dalam setiap ragam motifnya. Menggali dan mempertahankan nilai-nilai luhur dalam budaya tradisional merupakan satu komitmen yang ditumbuhkembangkan masyarakat Cigugur. Seperti yang diutarakan Pangeran Djatikusumah, hal inilah yang membuat budaya lokal tetap eksis dalam kehidupan masyarakat Cigugur di tengah terpaan budaya-budaya lain yang hadir dalam era globalisasi sekarang ini. (Yuni Mogot-Prahoro, kolektor kain tradisional/mahasiswa S-3 Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar