Sabtu, 03 November 2012

Pelanggaran dalam hal musik liturgis:


1. Dinyanyikannya lagu-lagu pop rohani dalam perayaan Ekaristi
Seharusnya:
Tra le Sollecitudini  1    Musik liturgis (sacred music)… mengambil bagian dalam ruang lingkup umum liturgi, yaitu kemuliaan Tuhan, pengudusan dan pengajaran umat beriman. Musik liturgis memberi kontribusi kepada keindahan dan keagungan upacara gerejawi, dan karena tujuan prinsipnya adalah untuk melingkupi teks liturgis dengan melodi yang cocok demi pemahaman umat beriman, tujuan utamanya adalah untuk menambahkan dayaguna-nya kepada teks, agar melaluinya umat dapat lebih terdorong kepada devosi dan lebih baik diarahkan kepada penerimaan buah-buah rahmat yang dihasilkan oleh perayaan misteri-misteri yang paling kudus tersebut.
Tra le Sollecitudini  2     Karena itu musik liturgis (sacred music) … harus kudus, dan harus tidak memasukkan segala bentuk profanitas, tidak hanya di dalam musik itu sendiri, tetapi juga di dalam cara pembawaannya oleh mereka yang memainkannya.
Tra le Sollecitudini  5    Gereja telah selalu mengakui dan menyukai kemajuan dalam hal seni, dan menerima bagi pelayanan agama semua yang baik dan indah yang ditemukan oleh para pakar yang ada sepanjang sejarah — namun demikian, selalu sesuai dengan kaidah- kaidah liturgi. Karena itu musik modern juga diterima Gereja, sebab musik tersebut menyelesaikan komposisi dengan keistimewaan, keagungan dan kedalaman, sehingga bukannya tak layak bagi fungsi-fungsi liturgis. Namun karena musik modern telah timbul kebanyakan untuk melayani penggunaan profan, maka perhatian yang khusus harus diberikan sehubungan dengan itu, agar komposisi musik dengan gaya modern yang diterima oleh Gereja tidak mengandung apapun yang profan, menjadi bebas dari sisa-sisa motif yang diangkat dari teater, dan tidak disusun bahkan di dalam bentuk- bentuk teatrikal seperti cara menyusun lagu- lagu profan.
Harus dibedakan bahwa untuk lagu-lagu liturgis, lagu bukan hanya sebagai ungkapan perasaan tetapi ungkapan iman (lex orandi lex credendi).
2. Adanya tari- tarian yang menyerupai pertunjukan/ performance diadakan dalam perayaan Ekaristi, kemudian diikuti dengan tepuk tangan umat.
Seharusnya:
RS 78     … Perlu dihindarkan suatu Perayaan Ekaristi yang hanya dilangsungkan sebagai pertunjukan atau menurut gaya upacara-upacara lain, termasuk upacara-upacara profan: agar Ekaristi tidak kehilangan artinya yang otentik.
Direktorium tentang Kesalehan Umat dan Liturgi 17    …. Di kalangan sejumlah suku, nyanyian secara naluriah terkait dengan tepuk tangan, gerak tubuh secara ritmis, dan bahkan tarian. Ini semua adalah bentuk lahiriah dari gejolak batin dan merupakan bagian dari tradisi suku ….Jelas, itu hendaknya menjadi ungkapan tulus doa jemaat dan tidak sekedar menjadi tontonan…
Paus Benediktus XVI dalam The Spirit of the Liturgy (San Francisco: Ignatius Press, 2000), p. 198: “Adalah suatu kekacauan untuk mencoba membuat liturgi menjadi “menarik” dengan memperkenalkan tarian pantomim (bahkan sedapat mungkin ditarikan oleh grop dansa ternama), yang sering kali (dan benar, dari sudut pandang profesionalisme) berakhir dengan applause -tepuk tangan. Setiap kali tepuk tangan terjadi di tengah liturgi yang disebabkan oleh semacam prestasi manusia, itu adalah tanda yang pasti bahwa esensi liturgi  telah secara total hilang, dan telah digantikan dengan semacam pertunjukan religius. Atraksi sedemikian akan memudar dengan cepat- ia tak dapat bersaing di arena pertunjukan untuk mencapai kesenangan (leisure pursuits), dengan memasukkan tambahan berbagai bentuk gelitik religius.”
Kardinal Arinze menjelaskannya demikian: bahwa pada budaya- budaya tertentu (yaitu di Afrika dan Asia), tarian menjadi bagian yang tak terpisahkan dari cara penyembahan, namun gerakan ini adalah ‘graceful movement‘ untuk menunjukkan suka cita dan penghormatan, dan bukan ‘performance‘. Dalam budaya ini, gerakan tersebut dapat diadakan dalam prosesi perayaan Ekaristi, namun bukan sebagai pertunjukan. Sedangkan di tempat- tempat lain di mana tarian tidak menjadi bagian dari penyembahan/ penghormatan (seperti di Eropa dan Amerika) maka memasukkan tarian ke dalam perayaan Ekaristi menjadi tidak relevan. Untuk mendengarkan penjelasan Kardinal Arinze tentang hal ini, silakan klik.
3. Band masuk gereja dan digunakan sebagai alat musik liturgi.
Seharusnya:
Tra le Sollecitudini 19    Penggunaan alat musik piano tidak diperkenankan di gereja, sebagaimana juga alat musik yang ribut atau berkesan tidak serius (frivolous), seperti drum, cymbals, bells dan sejenisnya.
Tra le Sollecitudini 20    Dilarang keras menggunakan alat musik band di dalam gereja, dan hanya di dalam kondisi- kondisi khusus dengan persetujuan Ordinaris dapat diizinkan penggunaan alat musik tiup, yang terbatas jumlahnya, dengan penggunaan yang bijaksana, sesuai dengan ukuran tempat yang tersedia dan komposisi dan aransemen yang ditulis dengan gaya yang sesuai, dan sesuai dalam segala hal dengan penggunaan organ.
Maka diperlukan izin khusus untuk menggunakan alat-alat musik lain, terutama jika alat tersebut dapat memberikan efek ribut/ keras, dan berkesan profan/ tidak serius.

Pelanggaran dalam hal penerimaan Komuni:


1. Umat mencelupkan sendiri Hosti ke dalam piala anggur.
Seharusnya:
RS 94     Umat tidak diizinkan mengambil sendiri- apalagi meneruskan kepada orang lain- Hosti Kudus atau Piala kudus.
RS 104     Umat yang menyambut, tidak diberi izin untuk mencelupkan sendiri hosti ke dalam piala; tidak boleh juga ia menerima hosti yang sudah dicelupkan itu pada tangannya…..
PUMR 160     Umat tidak diperkenankan mengambil sendiri roti kudus atau piala, apalagi saling memberikannya antar mereka. Umat menyambut entah sambil berlutut atau sambil berdiri, sesuai dengan ketentuan Konferensi Uskup…
Pada hakekatnya Komuni adalah sesuatu yang “diberikan” oleh Kristus: “Terimalah dan makanlah inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagi-Mu…. Terimalah dan minumlah, inilah darah-Ku yang ditumpahkan bagimu….”. Jadi bukan sesuatu yang dapat diambil sendiri.
2. Pengantin saling menerimakan Komuni.
Seharusnya, tidak boleh:
RS 94     Umat tidak diizinkan mengambil sendiri- apalagi meneruskan kepada orang lain- Hosti Kudus atau Piala kudus. Dalam konteks ini harus ditinggalkan juga penyimpangan di mana kedua mempelai saling menerimakan Komuni dalam misa perkawinan.
Ekaristi kudus adalah kurban Kristus, dan diberikan oleh Kristus (melalui imam ataupun petugas pembagi Komuni tak lazim yang diberi tugas tersebut), sehingga bukan untuk saling diterimakan oleh umat sendiri.
3. Umat yang menerima Komuni dengan tangan, tidak melakukan sikap penghormatan sebelum menerimanya.
Seharusnya:
PUMR 160    ….Tetapi, kalau menyambut sambil berdiri, dianjurkan agar sebelum menyambut Tubuh (dan Darah) Tuhan mereka menyatakan tanda hormat yang serasi, sebagaimana ditentukan dalam kaidah- kaidah mengenai komuni.
Adalah baik jika sesaat sebelum menyambut Komuni umat menundukkan kepala, tanda penghormatan kepada Kristus Tuhan yang hadir di dalamnya.
4. Patena sudah jarang digunakan.
Seharusnya:
RS 93    Patena Komuni untuk umat hendaknya dipertahankan, demi menghindarkan bahaya jatuhnya hosti kudus atau pecahannya.
5. Umat tidak menjawab “Amin” pada perkataan Romo, “Tubuh Kristus” sebelum menerima hosti.
Seharusnya:
PUMR 287    Kalau komuni dua rupa dilaksanakan dengan mencelupkan hosti ke dalam anggur, tiap penyambut, sambil memegang patena di bawah dagu, menghadap imam yang memegang piala. Di samping imam berdiri pelayan yang memegang bejana kudus berisi hosti. Imam mengambil hosti, mencelupkan sebagian ke dalam piala, memperlihatkannya kepada penyambut sambil berkata: Tubuh dan Darah Kristus. Penyambut menjawab: Amin, lalu menerima hosti dengan mulut, dan kemudian kembali ke tempat duduk.
6. Petugas Pembagi Komuni Tak Lazim (atau dikenal umat dengan istilah pro-diakon) membagi Komuni, Pastor malah duduk.
Seharusnya:
RS 154    Seperti  sudah dinyatakan, “pelayan yang selaku pribadi Kristus dapat melaksanakan sakramen Ekaristi, hanyalah Imam yang ditahbiskan secara sah” (lih. KHK Kan 900, 1) Karena itu, istilah “pelayan Ekaristi: hanya dapat diterapkan pada seorang Imam. Di samping itu, berdasarkan pentahbisan suci, pelayan-pelayan yang lazim untuk memberi komuni adalah Uskup, Imam dan Diakon….
RS 151    Hanya kalau sungguh perlu, boleh diminta bantuan pelayan-pelayan tak lazim dalam perayaan liturgi. Permohonan akan bantuan yang demikian bukannya dimaksudkan demi menunjang partisipasi umat, melainkan, karena kodratnya, bersifat pelengkap dan darurat…..
RS 152    Jabatan- jabatan yang semata- mata pelengkap ini jangan dipergunakan untuk menjatuhkan pelayanan asli oleh para Imam demikian rupa…..
RS 157    ….Tidak dapat dibenarkan kebiasaan para Imam yang, walaupun hadir pada perayaan itu, tidak membagi komuni dan menyerahkan tugas ini kepada orang-orang awam.

Pelanggaran dalam bagian- bagian Misa Kudus:

Pelanggaran dalam bagian- bagian Misa Kudus:

1. Mazmur Tanggapan digantikan dengan lagu rohani lainnya
Seharusnya:
Redemptoris Sacramentum (RS) 62    “Tidak juga diperkenankan meniadakan atau menggantikan bacaan-bacaan Kitab Suci yang sudah ditetapkan, atas inisiatif sendiri, apalagimengganti bacaan dan Mazmur Tanggapan yang berisi Sabda Allah, dengan teks-teks lain yang bukan dari Kitab Suci.” (lih. juga PUMR 57)
Katekismus mengajarkan bahwa kehadiran Kristus dalam Perayaan Ekaristi nyata dalam: 1) diri imamnya; 2) secara khusus dalam rupa roti dan anggur; 3) dalam sabda Allah (bacaan-bacaan Kitab Suci); 4) dalam jemaat yang berkumpul (lih. KGK 1088). Nah sabda Allah yang dimaksud di sini adalah bacaan di dalam Liturgi Sabda, dan ini termasuk bacaan Mazmur pada hari itu.
Selanjutnya tentang pembahasan topik ini, klik di sini.
2. Ordinarium digantikan dengan lagu- lagu lain dengan teks yang berbeda, yang tidak sama dengan yang sudah disahkan KWI.
RS 59    Di sana-sini terjadi bahwa Imam, Diakon atau umat dengan bebas mengubahkan atau menggantikan teks-teks liturgi suci yang harus mereka bawakan. Praktek yang amat tidak baik ini harus dihentikan. Karena dengan berbuat demikian, perayaan Liturgi Suci digoyahkan dan tidak jarang arti asli liturgi dibengkokkan.
Seharusnya:
PUMR 393    Perlu diperhatikan pentingnya nyanyian dalam Misa sebagai bagian utuh dari liturgi. Konferensi Uskuplah yang berwenang mengesahkan lagu-lagu yang serasi, khususnya untuk teks-teks Ordinarium, jawaban dan aklamasi umat, dan untuk ritus-ritus khusus yang diselenggarakan dalam kurun tahun liturgi….
Rumusan Ordinarium merupakan pernyataan iman Gereja yang sifatnya baku, sehingga tidak selayaknya diubah-ubah atas kehendak pribadi.
3. Kurangnya saat hening.
Seharusnya:
PUMR 45    Beberapa kali dalam Misa hendaknya diadakan saat hening. Saat hening juga merupakan bagian perayaan, tetapi arti dan maksudnya berbeda-beda menurut makna bagian yang bersangkutan. Sebelum pernyataan tobat umat mawas diri, dan sesudah ajakan untuk doa pembuka umat berdoa dalam hati. Sesudah bacaan dan homili umat merenungkan sebentar amanat yang didengar. Sesudah komuni umat memuji Tuhan dan berdoa dalam hati.
Bahkan sebelum perayaan Ekaristi, dianjurkan agar keheningan dilaksanakan dalam gereja, di sakristi, dan di area sekitar gereja, sehingga seluruh umat dapat menyiapkan diri untuk melaksanakan ibadat dengan cara yang khidmat dan tepat.
PUMR 56    Liturgi Sabda haruslah dilaksanakan sedemikian rupa sehingga mendorong umat untuk merenung. Oleh karena itu, setiap bentuk ketergesa-gesaan yang dapat mengganggu permenungan harus sungguh dihindari. Selama Liturgi Sabda, sangat cocok disisipkan saat hening sejenak, tergantung pada besarnya jemaat yang berhimpun. Saat hening ini merupakan kesempatan bagi umat untuk meresapkan sabda Allah, dengan dukungan Roh Kudus, dan untuk menyiapkan jawaban dalam bentuk doa. Saat hening sangat tepat dilaksanakan sesudah bacaan pertama, sesudah bacaan kedua, dan sesudah homili.
4. Diizinkannya seorang awam untuk berkhotbah/ memberikan kesaksian di dalam homili  (misalnya untuk mengisi homili Minggu Panggilan, homili di misa requiem, ataupun kesempatan khusus lainnya).
Seharusnya:
RS 64    Homili yang diberikan dalam rangka perayaan Misa Kudus, dan yang merupakan bagian utuh dari liturgi itu “pada umumnya dibawakan oleh Imam perayaan. Ia dapat menyerahkan tugas ini kepada salah seorang imam konselebran, atau kadang-kadang, tergantung situasi, kepada diakon, tetapi tidak pernah kepada seorang awam….”
RS 66    Larangan terhadap orang awam untuk berkhotbah dalam Misa, berlaku juga untuk para seminaris, untuk mahasiswa teologi dan untuk orang yang telah diangkat dan dikenal sebagai “asisten pastoral”; tidak boleh ada kekecualian untuk orang awam lain, atau kelompok, komunitas atau perkumpulan apa pun.
RS 74    Jika dipandang perlu bahwa kepada umat yang berkumpul di dalam gereja, diberi instruksi atau kesaksian tentang hidup Kristiani oleh seorang awam, maka sepatutnya hal ini dibuat di luar Misa. Akan tetapi jika ada alasan kuat, maka dapat diizinkan bahwa suatu instruksi atau kesaksian yang demikian disampaikan setelah Doa sesudah Komuni. Namun hal ini tidak boleh menjadi kebiasaan. Selain itu, instruksi atau kesaksian itu tidak boleh bercorak seperti sebuah homili, dan tidak boleh homili dibatalkan karena ada acara dimaksud.
RS 67 Perlulah diperhatikan secara khusus, agar homili itu sungguh berdasarkan misteri-misteri penebusan, dengan menguraikan misteri-misteri iman serta patokan hidup Kristiani, bertitik tolak dari bacaan-bacaan Kitab Suci serta teks-teks liturgi sepanjang tahun liturgi, dan juga memberi penjelasan tentang bagian umum (Ordinarium) maupun bagian khusus (Proprium) dala Misa ataupun suatu perayaan gerejawi lain…..
5. Pemberian Salam Damai yang dilakukan terlalu meriah dan panjang, sampai imam turun dari panti imam.
Seharusnya:
RS 71    Perlu mempertahankan kebiasaan seturut Ritus Romawi, untuk saling menyampaikan salam damai menjelang Komuni. Sesuai dengan tradisi Ritus Romawi, kebiasaan ini bukanlah dimaksudkan sebagai rekonsiliasi atau pengampunan dosa, melainkan mau menyatakan damai, persekutuan dan cinta sebelum menyambut Ekaristi Mahakudus. Segi rekonsiliasi antara umat yang hadir lebih diungkapkan dalam upacara tobat pada awal Misa, khususnya dalam rumus pertama.
RS 72    “Salam damai hendaknya diberikan oleh setiap orang hanya kepada mereka yang terdekat dan dengan suatu cara yang pantas.” “Imam boleh memberikan salam damai kepada para pelayan, namun tidak meninggalkan panti imam agar jalannya perayaan jangan terganggu….”
Salam Damai perlu dipertahankan, hanya hal dinyanyikan atau tidak, itu tidak secara eksplisit dinyatakan di dalam dokumen Gereja. Bagi yang memilih untuk menyanyikannya, dasarnya karena menganggap bahwa nyanyian itu merupakan cara menyampaikan damai. Sedangkan yang tidak menyanyikannya, kemungkinan menganggap bahwa hal dinyanyikannya Salam Damai tidak eksplisit disyaratkan dalam dokumen Gereja, dan karena jika dinyanyikan malah dapat mengganggu pusat perhatian saat itu yang seharusnya difokuskan kepada Kristus. Jika kelak ingin diseragamkan, maka pihak KWI-lah yang berwenang untuk menentukan apakah Salam Damai ini akan dinyanyikan atau tidak dinyanyikan.

Beberapa Pelanggaran Liturgi dalam Perayaan Ekaristi


Setelah kita mengetahui pengertian tentang liturgi, mari kita lihat bersama adanya pelanggaran-pelanggaran yang umum terjadi di dalam liturgi Perayaan Ekaristi, yang biasanya didasari oleh kekurangpahaman ataupun ketidakseimbangan dialog antara pihak Allah dan pihak peraya. Dewasa ini, ada kecenderungan untuk terlalu mengikuti kehendak para peraya, sampai mengesampingkan apa yang sebenarnya menjadi hal prinsip yang menjadi kehendak Allah, atau yang selayaknya diberikan kepada Allah sebagai ungkapan penghargaan kita akan Misteri Paska yang kita rayakan dalam liturgi. Kekurangpahaman ataupun ketimpangan penyesuaian dalam liturgi ini melahirkan banyak pelanggaran-pelanggaran, dan berikut ini adalah beberapa contohnya:

Pelanggaran sehubungan dengan persiapan batin sebelum mengikuti Misa Kudus:

1. Tidak berpuasa sedikitnya sejam sebelum menerima Komuni
Seharusnya:
KHK Kan. 919
§ 1 Yang akan menerima Ekaristi Mahakudus hendaknya berpantang dari segala macam makanan dan minuman selama waktu sekurang-kurangnya satu jam sebelum komuni, terkecuali air semata-mata dan obat-obatan.
Maksud puasa sebelum Komuni tentu adalah untuk semakin menyadarkan kita bahwa yang akan kita santap dalam Ekaristi adalah bukan makanan biasa, namun adalah Tuhan sendiri: yaitu Kristus Sang Roti Hidup, yang dapat membawa kita kepada kehidupan kekal (lih. Yoh 6:56-57)

2. Menggunakan pakaian yang tidak/ kurang sopan ke gereja, datang terlambat, ngobrol, berBBM/ SMS di gereja, makan dan minum di dalam gereja, terutama anak- anak, anggota koor yang minum sebelum/ sesudah bertugas, umat saat menunggu dimulainya perayaan Ekaristi.
Seharusnya:
KGK 1387 ….Di dalam sikap (gerak-gerik, pakaian) akan terungkap penghormatan, kekhidmatan, dan kegembiraan yang sesuai dengan saat di mana Kristus menjadi tamu kita. (CCC 1387 …. Bodily demeanor (gestures, clothing) ought to convey the respect, solemnity, and joy of this moment when Christ becomes our guest)
Sudah sewajarnya dan sepantasnya jika kita memberikan penghormatan kepada Allah yang kita jumpai di dalam liturgi. Jika sikap seenaknya tidak kita lakukan jika kita sedang bertemu bapak Presiden, maka selayaknya kita tidak bersikap demikian kepada Tuhan yang kita jumpai di gereja.
3. Tidak memeriksa batin, namun tetap menyambut Komuni meskipun dalam keadaan berdosa berat
Seharusnya:
RS 81    Kebiasaan sejak dahulu kala menunjukkan bahwa setiap orang harus memeriksa batinnya dengan mendalam, dan bahwa setiap orang yang sadar telah melakukan dosa berat tidak boleh menyambut Tubuh Tuhan kalau tidak terlebih dahulu menerima Sakramen Tobat, kecuali jika ada alasan berat dan tidak tersedia kemungkinan untuk mengaku dosa; dalam hal itu ia harus ingat bahwa ia harus membuat doa tobat sempurna, dan dalam doa ini dengan sendirinya tercantum maksud untuk mengaku dosa secepat mungkin (lih. KGK 1385, KHK Kan 916, Ecclesia de Eucharistia, 36) 
Dosa berat memisahkan kita dari Kristus, dan karena itu untuk bersatu dengan-Nya kita harus meninggalkan dosa tersebut, dan mengakukannya di dalam sakramen Tobat. Contoh dosa berat ini misalnya jika hidup dalam perkawinan yang tidak sah menurut hukum Gereja Katolik, atau hidup dalam perzinahan/ percabulan, atau dalam keadaan kecanduan obat-obatan, dst. Kekecualian akan “adanya alasan berat dan tidak tersedia kemungkinan mengaku dosa”, contohnya adalah bahaya maut, atau jika tinggal di daerah terpencil di mana Komuni dibagikan oleh seorang asisten imam dalam waktu sekian minggu sekali.

Penyesuaian liturgi bertujuan untuk meningkatkan peran serta para peraya secara aktif


Liturgi, sebagai karya Gereja (karya Kristus dan anggota-anggota-Nya) mengalami perkembangan dan penyesuaian; dan hal ini kita lihat dalam sejarah Gereja. Sebab bagaimanapun, liturgi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Gereja, dan karena itu segala bentuk penyesuaiannya harus semakin mendorong partisipasi umat di dalamnya dan mengarahkan umat kepada peningkatan penghayatan akan maknanya yang luhur.
Romo Boli Ujan SVD, seorang pakar liturgi di tanah air dan salah seorang narasumber di situs ini, pernah menulis di artikel tentang Penyesuaian dan Inkulturasi liturgi, silakan klik, demikian:
“Arah penyesuaian liturgi dari pihak para peraya sekaligus mengingatkan kita akan tujuan dari penyesuaian liturgi yaitu agar para peraya dapat dengan mudah dan jelas serta aktif mengambil bagian dalam perayaan. Dengan demikian kita lebih mampu memahami tindakan Tuhan dan bersyukur kepada-Nya. …. Liturgi adalah perayaan pertemuan antara Allah dengan manusia dan antara anggota persekutuan satu sama lain yang disatukan dalam Allah. Kehadiran Allah dalam liturgi ini merupakan hal pokok yang tidak dapat digantikan oleh yang lain. Inilah yang membuat keseluruhan suasana perayaan menjadi kudus dan berbeda dengan suasana profan…..
[Namun] Sering penyesuaian liturgi dipandang sebagai kegiatan satu arah saja yaitu upaya dari pihak Allah dan para petugas khusus untuk membuat liturgi itu menjadi relevan dan sesuai dengan para peraya. Padahal liturgi merupakan pertemuan antara Allah dan manusia, dalamnya terjadi dialog bukan monolog. Liturgi sebagai karya Allah ditanggapi oleh para peraya. Maka penyesuaian dari pihak Allah dan para petugas khusus dalam liturgi perlu ditanggapi oleh semua peraya. Dalam liturgi manusia harus berusaha menyesuaikan diri dengan Allah serta rencana-rencana-Nya, dan menyesuaikan diri dengan pedoman-pedoman liturgi terutama pedoman umum mengenai hal-hal pokok dan penting yang dipandang sebagai unsur pembentuk liturgi. Arah penyesuaian terakhir sering kurang mendapat perhatian dalam pembicaraan mengenai pokok ini, sebab yang lebih diutamakan dalam diskusi dan proses penyesuaian liturgi adalah segala upaya membuat liturgi itu sesuai atau cocok untuk para peraya. Kalau demikian penyesuaian liturgi menjadi pincang.”

Partisipasi aktif dan sadar


Karena liturgi merupakan perayaan karya keselamatan yang dilakukan oleh Kristus dalam kesatuan dengan Gereja-Nya, maka kita yang adalah anggota- anggota-Nya harus turut mengambil bagian secara aktif di dalam liturgi. Mengapa? Karena liturgi dimaksudkan sebagai karya Kristus dengan melibatkan kita anggota- anggota-Nya, yaitu karya keselamatan Allah yang diperoleh melalui Misteri Paska Kristus, yaitu: wafat, kebangkitan dan kenaikan Kristus ke surga. Kita disatukan dalam Misteri Paska Kristus ini, dengan membawa persembahan hidup kita ke hadapan Allah, dan dengan inilah kita menjalankan martabat Pembaptisan kita sebagai umat pilihan Allah.
Redemptionis Sacramentum (RS) 36     Perayaan Misa, sebagai karya Kristus serta Gereja, merupakan pusat seluruh hidup Kristiani, baik untuk Gereja universal maupun untuk Gereja partikular, dan juga untuk tiap-tiap orang beriman, yang terlibat di dalamnya “pada cara-cara yang berbeda-beda sesuai dengan keanekaragaman jenjang, pelayanan dan partisipasi nyata.” Dengan cara ini umat Kristiani, “bangsa terpilih, imamat rajawi, bangsa yang kudus, milik Allah sendiri”, menunjukkan jenjang-jenjangnya menurut susunan hirarki yang rapih. “Adapun imamat umum kaum beriman dan imamat jabatan atau hirarkis, kendati berbeda hakekatnya dan bukan hanya tingkatannya, saling terarahkan. Sebab keduanya dengan cara khasnya masing-masing mengambil bagian dalam satu imamat Kristus.”
RS 37     Maka itu partisipasi kaum beriman awam dalam Ekaristi dan dalam perayaan-perayaan gerejawi lain, tidak boleh merupakan suatu kehadiran melulu, apalagi suatu kehadiran pasif, sebaliknya harus sungguh dipandang sebagai suatu ungkapan iman dan kesadaran akan martabat pembaptisan.
Partisipasi secara aktif dan sadar ini terlihat dari keikutsertaan umat dalam aklamasi-aklamasi yang diserukan oleh umat, jawaban-jawaban tertentu, lagu-lagu mazmur dan kidung, gerak-gerik penghormatan, menjaga keheningan yang suci pada saat-saat tertentu, dan adanya rubrik-rubrik untuk peranan umat. Di samping itu peluang partisipasi umat dapat diwujudkan dalam pemilihan lagu-lagu, doa-doa, pembacaan teks Kitab Suci, dan dekorasi gereja. Keikutsertaan umat ini tujuannya adalah untuk semakin meningkatkan penghayatan akan sabda Allah dan misteri Paska Kristus yang sedang dirayakan (lih. RS 39). Namun demikian, di atas semua itu, partisipasi aktif dan sadar ini menyangkut sikap batin, yang semakin menghayati dan mengagumi makna perayaan Ekaristi:
RS 40   Akan tetapi, meskipun perayaan liturgis menuntut partisipasi aktif semua orang beriman, belum tentu berarti bahwa setiap orang harus melakukan kegiatan konkrit lain di samping tindakan dan gerak-gerik umum, seakan-akan setiap orang wajib melakukan satu tugas khusus dalam perayaan Ekaristi. Sebaliknya, melalui instruksi katekis harus diusahakan dengan tekun untuk memperbaiki pendapat-pendapat serta praktek-praktek yang dangkal itu, yang selama beberapa tahun terakhir ini sering terjadi. Katekese yang benar akan menanam kembali dalam hati seluruh orang Kristiani kekaguman akan mulianya serta agungnya misteri iman, yakni Ekaristi…. seluruh hidup Kristiani yang mendapat kekuatan daripadanya dan sekaligus tertuju kepadanya….
Tentang sikap batin ini, Redemptionis Sacramentum mengajarkan:
“Maka, haruslah menjadi jelas buat semua, bahwa Tuhan tidak dapat dihormati dengan layak kecuali pikiran dan hati diarahkan kepada-Nya…. (RS 26) Oleh karena itu, ….. semua umat harus sadar bahwa untuk mengambil bagian di dalam kurban Ekaristi adalah tugas dan martabat mereka yang utama. Dan maka bahwa bukan dengan cara yang pasif dan asal-asalan/malas, melantur dan melamun, tetapi dengan cara penuh perhatian dan konsentrasi, mereka dapat dipersatukan dengan se-erat mungkin dengan Sang Imam Agung, sesuai dengan perkataan Rasul Paulus, “Hendaklah kamu menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” (Flp 2:5) Dan bersama dengan Dia dan melalui Dia hendaklah mereka membuat persembahan, dan di dalam kesatuan dengan Dia, biarlah mereka mempersembahkan diri mereka sendiri (RS 80). “….menaruh pikiran yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” mensyaratkan bahwa semua orang Kristen harus mempunyai, sedapat mungkin secara manusiawi, sikap batin yang sama dengan yang telah terdapat pada Sang Penebus ilahi ketika Ia mempersembahkan Diri-Nya sebagai korban. Artinya mereka harus mempunyai sikap kerendahan hati, memberikan penyembahan, hormat, pujian dan syukur kepada Tuhan yang Maha tinggi dan maha besar. Selanjutnya, artinya mereka harus mengambil sikap seperti halnya sebagai kurban, [yaitu] bahwa mereka menyangkal diri mereka sendiri sebagaimana diperintahkan di dalam Injil, bahwa mereka dengan sukarela dan dengan kehendak sendiri melakukan pertobatan dan tiap-tiap orang membenci dosa-dosanya dan membayar denda dosanya. Dengan kata lain mereka harus mengalami kematian mistik dengan Kristus di kayu salib, sehingga kita dapat menerapkan kepada diri kita sendiri perkataan Rasul Paulus, “Aku telah disalibkan dengan Kristus” (Gal 2:19) (RS, 81)
“…. Jelaslah penting bahwa ritus kurban persembahan yang diucapkan secara kodrati, menandai penyembahan yang ada di dalam hati. Kini kurban Hukum yang Baru menandai bahwa penyembahan tertinggi di mana Sang Kepala yang mempersembahkan diri-Nya, yaitu Kristus, dan di dalam kesatuan dengan Dia dan melalui Dia, semua anggota Tubuh Mistik-Nya memberi kepada Tuhan penghormatan dan sembah sujud yang layak bagi-Nya. (RS 93)…. Agar persembahan di mana umat beriman mempersembahkan Kurban ilahi di dalam kurban ini kepada Bapa Surgawi memperoleh hasil yang penuh, adalah penting bahwa orang-orang menambahkan…. persembahan diri mereka sendiri sebagai kurban (RS 98). Maka semua bagian liturgi, akan menghasilkan di dalam hati kita keserupaan dengan Sang Penebus ilahi melalui misteri salib, menurut perkataan Rasul Paulus, “Aku telah disalibkan dengan Kristus. Aku hidup namun bukan aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” (Gal 2:19-20) Jadi kita menjadi kurban…. bersama dengan Kristus, untuk semakin memuliakan Bapa yang kekal.” (RS 102)

Arti liturgi


Liturgi (leitourgia) pada awalnya berarti “karya publik”. Dalam sejarah perkembangan Gereja, liturgi diartikan sebagai keikutsertaan umat dalam karya keselamatan Allah. Di dalam liturgi, Kristus melanjutkan karya Keselamatan di dalam, dengan dan melalui Gereja-Nya.[1] Dalam kitab Perjanjian Baru, yaitu Surat kepada Jemaat di Ibrani, kata leitourgia dan leitourgein disebut 3 kali (lih. Ibr 8:6; 9:21; 10:11) yang mengacu kepada pelayanan imamat Kristus.
Maka, liturgi merupakan wujud pelaksanaan tugas Kristus sebagai Imam Agung, di mana Kristus menjadi Pengantara satu-satunya antara manusia kepada Allah Bapa, dengan mengorbankan diri-Nya sekali untuk selama-lamanya (lih. Ibr 9:12; 1 Tim 2:5). Korban Kristus yang satu-satunya inilah yang dihadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus, dalam perayaan Ekaristi. Dengan demikian, liturgi merupakan penyembahan Kristus kepada Allah Bapa di dalam Roh Kudus, dan dalam melakukan penyembahan ini, Kristus melibatkan TubuhNya, yaitu Gereja. Karena itu, liturgi merupakan karya bersama antara Kristus-Sang Kepala, dan Gereja yang adalah Tubuh Kristus,[2] sehingga tidak ada kegiatan Gereja yang lebih tinggi nilainya daripada liturgi karena di dalam liturgi terwujudlah persatuan yang begitu erat antara Kristus dengan Gereja sebagai ‘Mempelai’-Nya dan Tubuh-Nya sendiri.[3]
Jadi definisi liturgi, menurut Paus Pius XII dalam surat ensikliknya tentang Liturgi Suci, Mediator Dei, menjabarkankan definisi liturgi sebagai berikut:
“Liturgi adalah ibadat publik yang dilakukan oleh Penebus kita sebagai Kepala Gereja kepada Allah Bapa dan juga ibadat yang dilakukan oleh komunitas umat beriman kepada Pendirinya [Kristus], dan melalui Dia kepada Bapa. Singkatnya, liturgi adalah ibadat penyembahan yang dilaksanakan oleh Tubuh Mistik Kristus secara keseluruhan, yaitu Kepala dan anggota-anggotanya.”[4]
atau menurut Rm. Emanuel Martasudjita, Pr, “Liturgi adalah perayaan misteri karya keselamatan Allah di dalam Kristus, yang dilaksanakan oleh Yesus Kristus, Sang Imam Agung, bersama Gereja-Nya di dalam ikatan Roh Kudus.”[5]

Menurut sejarah, ada berapa Patriarkh?

Kitab Hukum Kanonik yang tertua menyatakan bahwa hanya ada tiga uskup yang mempunyai wewenang kepatriarkhan yaitu Uskup Roma, Aleksandria dan Antiokhia. Penerus Rasul Petrus tentu menempati tempat tertinggi dan merangkum di dalam dirinya semua jabatan. Ia tidak hanya adalah uskup tetapi juga kepala otoritas gerejawi di daerah metropolitan (umum sekarang dikenal sebagai Uskup agung), uskup tertinggi/ primat, dan patriarkh yang utama. Setelah hirarki di antara uskup terbentuk, otoritas tertinggi tetap ada pada Uskup Roma, yang kemudian dikenal dengan sebutan Paus. Paus adalah kepala yang kelihatan dari seluruh Gereja. Sebagai uskup Roma, ia memimpin keuskupan Roma; sebagai uskup metropolitan (uskup agung) ia memimpin provinsi Roma, sebagai primat, ia memimpin para uskup Italia; dan sebagai patriarkh ia memimpin seluruh Gereja Barat ritus Latin; sedangkan di Gereja-gereja Timur, ia disebut sebagai imam tertinggi (supreme pontiff).
Sebelum Konsili Nicea (325) dua uskup Timur yang mempunyai otoritas patriarkh yang sama adalah uskup Aleksandria dan uskup Antiokhia. Agaknya sulit dijelaskan mengapa sampai terbentuk dua daerah keuskupan ini. Uskup Aleksandria mengepalai uskup-uskup Mesir, sedangkan Uskup Antiokhia mengepalai uskup-uskup di Syria, Asia Kecil, Yunani dan daerah-daerah lainnya di Timur. Selanjutnya, menjadi pandangan populer bahwa ketiga kepatriarkh-an ini berhubungan dengan Rasul Petrus. Rasul Petrus mendirikan Gereja di Roma; di Antiokh dan di Aleksandria melalui muridnya St. Markus.
Setelah agama Kristen berkembang di abad ke-4, maka mulai banyak peziarah datang ke Holy Land (Tanah Suci). Sejak saat itu Uskup Yerusalem mempunyai peran yang penting. Konsili Nicaea memberikan penghormatan kepadanya, walau tetap mengakui keutamaan metropolis Kaisarea, dan akhirnya melalui Juvenal Yerusalem (420-458) posisi keuskupan Yerusalem diakui sebagai patriarkhat. Konsili Kalsedon (451) memisahkan Palestina dan Arabia (Sinai) dari wilayah keuskupan Antiokhia dan dari mereka terbentuklah Patriarkhat Yerusalem (Sess. VII dan VIII).
Namun naiknya Konstantinopel ke jenjang Patriarkhat adalah sesuatu yang menimbulkan kontroversi. Sebab pada awalnya yang yang mencetuskan Byzantium/ Konstantinopel menjadi “Roma yang baru” adalah Kaisar Konstantin. Sepanjang beberapa abad, para Paus menentang ambisi ini. Paus Damasus dan Gregorius Agung menolak untuk mengakui kedudukan Keuskupan Konstantinopel di tempat kedua setelah Roma ini. Namun demikian Konstantinopel berkembang karena dukungan Kaisar, karena kebijakan sentral yang menguntungkan otoritas para uskup di daerah tersebut. Konsili Kalsedon akhirnya menjadikan Konstantinopel sebagai patriarkhat dengan Asia Kecil dan Thrace sebagai daerah yurisdiksi, dan memberikannya tempat kedua setelah Roma (Kan. 28). Paus Leo Agung (440-461) menolak kanon ini, yang dibuat tanpa kehadiran utusannya, dan selama berabad kemudian, Roma tetap menolak untuk memberikan tempat kedua kepada Konstantinopel. Baru pada Konsili Lateran yang ke-empat (1215) Patriarkh Latin di Konstantinopel diadakan, dan tahun 1439 Konsili Florence memberikannya kepada para patriarkh Yunani. Namun demikian, di daerah Timur, kehendak Kaisar cukup kuat untuk menerima pengakuan bagi kepatriarkh-annya sebagai patriarkh kedua, walaupun tidak secara hukum. Maka urutannya menjadi Roma, Konstantinopel, Aleksandria, Antiokhia dan Yerusalem.

Agar Si Kecil Berperilaku Baik di Tempat Umum

Banyak pola tingkah anak usia 3-6 yang tak terduga dan kadang membuat orangtua "tak enak hati" dan malu bila dilihat orang lain. Orangtua pun merasa canggung karena terkesan lalai mengajarkan sopan santun atau etiket pada anak.

Imam Ratrioso, Psi, Psikolog dan Direktur Safaro Consulting Jakarta, menjelaskan kajian atau teori psikologi perkembangan menyebutkan anak usia 3-6 masuk kategori awal masa kanak-kanak sejak bayi hingga usia enam. Pada masa ini, bisa juga disebut sebagai dimulainya "masa sulit, masa bermain, masa usia bertanya, masa menjelajah, masa kreativitas".

Merujuk pada teori tersebut, bila anak seperti terlihat membuat "malu" orangtua, entah itu menunjukkan perilaku mengamuk di depan orang banyak atau berbicara spontan yang dianggap kurang sopan, orangtua mesti melihatnya dari kacamata perkembangan anak. Bukan dengan paradigma konvensional seperti halnya kita sebagai orang dewasa.

Artinya, anak usia prasekolah memang belum bisa memahami secara sempurna konsep etika dan tata krama. Karena pada usia ini perkembangan kognitifnya masih berada pada taraf praoperasional. Jangan heran kalau kata-kata sopan atau etika atau tata krama bahkan sebuah kebaikan atau keburukan belum mampu dipahami dengan baik oleh anak usia ini. Karenanya penting bagi orangtua atau orang dewas untuk memahami tahap perkembangan anak ini.

Meski begitu, bukan berarti orangtua bersikap permisif dan membiarkan atau membolehkan apa pun yang dillakukan anak. Bagaimana pun etika dan tata krama harus diajarkan secara konsisten. Anda dapat mengajarkannya melalui ucapan dan tindakan serta contoh konkret.

Misalnya, kalau Anda ingin membiasakan anak membuang sampah pada tempatnya, maka sebagai orangtua Anda harus membuang sampak di tempatnya dan anak melihat langsung apa yang Anda lakukan. Pengajaran seperti ini dilakukan secara bertahap dan perlahan, sesuai dengan perkembangan dan kemampuan anak.

Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan orangtua agar si prasekolah dapat berperilaku baik di depan umum dan tak "membuat malu" orangtuanya:

* Orangtua menjadi role model.
Anak adalah peniru ulung. Oleh karena itu, tunjukkan bahwa orangtua pantas menjadi teladan bagi anak. Bagaimana cara Anda bersikap baik pada orang lain akan direkam oleh anak untuk kemudian ditunjukkannya dengan cara yang sama kepada orang lain.

* Bermula dari hal sederhana dan keseharian.
Lupakan cara mengajarkan tata krama, etika ataupun sopan santun lewat ceramah sampai mulut "berbusa". Pasalnya, kemampuan dan pemahaman si kecil masih terbatas dan masih akan terus berkembang. Lebih baik mengajarinya lewat hal kecil dan sederhana dalam keseharian. Umpana, selalu ingat mengucapkan "terima kasih" ketika menerima sesuatu dari orang lain, mengucapkan "maaf" bila melakukan kekeliruan atau kesalahan, mengatakan "tolong" untuk meminta bantuan, atau mengucapkan "permisi" ketika hendak melewati orang lain. Begitu juga ajari anak untuk menyapa orang lain dengan sebutan yang baik, seperti Om, Tante, dan Kakak kepada orang yang lebih tua.

Rabu, 31 Oktober 2012

Mitos asal muasal larangan menikah Sunda-Jawa

Pernahkah anda mendengar bahwa orang Sunda dilarang menikah dengan orang Jawa atau sebaliknya? Ternyata hal itu hingga ini masih dipercaya oleh sebagian masyarakat kita. Lalu apa sebabnya?

Mitos tersebut hingga kini masih dipegang teguh beberapa gelintir orang. Tidak bahagia, melarat, tidak langgeng dan hal yang tidak baik bakal menimpa orang yang melanggar mitos tersebut.

Lalu mengapa orang Sunda dan Jawa dilarang menikah dan membina rumah tangga. Tidak ada literatur yang menuliskan tentang asal muasal mitos larang perkawinan itu. Namun mitos itu diduga akibat dari tragedi perang Bubat.

Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit, yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara.

Hayam Wuruk memang berniat memperistri Dyah Pitaloka dengan didorong alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda. Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit.

Maharaja Linggabuana lalu berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit.

Menurut Kidung Sundayana, timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sunda lah yang belum dikuasai.

Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan oleh untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.

Versi lain menyebut bahwa Raja Hayam Wuruk ternyata sejak kecil sudah dijodohkan dengan adik sepupunya Putri Sekartaji atau Hindu Dewi. Sehingga Hayam Wuruk harus menikahi Hindu Dewi sedangkan Dyah Pitaloka hanya dianggap tanda takluk.

"Soal pernikahan itu, teori saya tentang Gajah Mada, Gajah Mada tidak bersalah. Gajah Mada hanya melaksanakan titah sang raja. Gajah Mada hendak menjodohkan Hayam Wuruk dengan Diah Pitaloka. Gajah mada Ingin sekali untuk menyatukan antara Raja Sunda dan Raja Jawa lalu bergabung. Indah sekali," tegas sejarawan sekaligus arkeolog Universitas Indonesia (UI) Agus Aris Munandar.

Hal ini dia sampaikan dalam seminar Borobudur Writers & Cultural Festival 2012 bertemakan; 'Kontroversi Gajah Mada Dalam Perspektif Fiksi dan Sejarah' di Manohara Hotel, Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur, Magelang, Jateng, Selasa (30/10).

Pihak Pajajaran tidak terima bila kedatangannya ke Majapahit hanya menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai taklukan. Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada.

Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.

Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukan Bhayangkara ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu.

Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Raja Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat.

Tradisi menyebutkan sang Putri Dyah Pitaloka dengan hati berduka melakukan bela pati atau bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatria, tindakan bunuh diri ritual dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur. Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.

Hayam Wuruk pun kemudian meratapi kematian Dyah Pitaloka. Akibat peristiwa Bubat ini, bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari pihak pejabat dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya dianggap ceroboh dan gegabah. Mahapatih Gajah Mada dianggap terlalu berani dan lancang dengan tidak mengindahkan keinginan dan perasaan sang Mahkota, Raja Hayam Wuruk sendiri.

Tragedi perang Bubat juga merusak hubungan kenegaraan antar Majapahit dan Pajajaran atau Sunda dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian. Hubungan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sedia kala.

Pangeran Niskalawastu Kancana, adik Putri Dyah Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena saat itu masih terlalu kecil dan menjadi satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup dan kemudian akan naik takhta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana.

Kebijakan Prabu Niskalawastu Kancana antara lain memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan. Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran (beristri dari luar), yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.

Tindakan keberanian dan keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka untuk melakukan tindakan bela pati (berani mati) dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda dan dianggap sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki 'Prabu Wangi' (bahasa Sunda: raja yang harum namanya) karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya. Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.

Beberapa reaksi tersebut mencerminkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat Sunda kepada Majapahit, sebuah sentimen yang kemudian berkembang menjadi semacam rasa persaingan dan permusuhan antara suku Sunda dan Jawa yang dalam beberapa hal masih tersisa hingga kini. Antara lain, tidak seperti kota-kota lain di Indonesia, di kota Bandung, ibu kota Jawa Barat sekaligus pusat budaya Sunda, tidak ditemukan jalan bernama 'Gajah Mada' atau 'Majapahit'. Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan nasional Indonesia, kebanyakan rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas akibat tindakannya yang dianggap tidak terpuji dalam tragedi ini.

Sabtu, 27 Oktober 2012

MENGEROSI BUDAYA MEMBOLOS

Mengerosi budaya membolos


Penyimpangan perilaku siswa tidak mengikuti kegiatan pembelajaran di sekolah tanpa alasan yang tidak tepat atau lebih tepatnya dikatakan membolos adalah sudah ada sejak dulu baik terjadi di perkotaan maupun di daerah. Dalam penanganan siswa yang membolos terkesan guru sering terlalu cepat menvonis untuk dikatogorikan siswa yang nakal sehingga perlu adanya sanksi tegas tanpa adanya pembimbingan dan pembinaan sebagai program tindak lanjut. Dan anehnya sering orang tua siswa cenderung membela atau menutupi perilaku anaknya dengan membela dan memberikan seribu alasan dengan tujuan anaknya terhindar dari sanksi yang diberikan pihak sekolah.
Fenomena siswa membolos memang bisa berdampak pada kenakalan remaja, tawauran siswa, tindak kriminal, nakoba dan pergaulan bebas adalah salah satu dampaknya, Tetapi tidak semua siswa membolos akan bermuara ke arah kenakalan remaja. Kita harus bijaksana menyikapai dan menangani permasalahan tersebut.
Membolos dapat diartikan sebagai perilaku siswa yang tidak masuk sekolah dengan alasan yang tidak tepat. Atau bisa juga dikatakan ketidak hadiran tanpa alasan yang jelas.
Membolos merupakan salah satu bentuk dari penyimpangan perilaku siswa, yang jika tidak segera diselesaikan dan dicarikan solusinnya dapat menimbulkan dampak yang lebih parah. Oleh karena itu penanganan terhadap siswa yang suka membolos menjadi perhatian yang sangat serius. Penanganan tidak saja dilakukan oleh sekolah, tetapi pihak keluarga juga perlu dilibatkan. Malah terkadang penyebab utama siswa membolos lebih sering berasal dari dalam keluarga itu sendiri. Jadi komunikasi antara pihak sekolah dengan pihak keluarga menjadi sangat penting dalam pemecahan masalah siswa tersebut.
Perilaku membolos ini perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Bukan saja hanya perhatian yang berasal dari pihak sekolah, melainkan juga perhatian yang berasal dari orang tua dan pemerintah. Perilaku membolos sangat merugikan dan bahkan bisa saja menjadi sumber masalah baru. Apabila hal ini terus menerus dibiarkan berlalu, maka yang bertanggung jawab atas semua ini bukan saja dari siswa itu sendiri melainkan dari pihak sekolah ataupun guru yang menjadi orang tua di sekolah juga akan ikut menangungnya.


Faktor penyebab siswa membolos
a. Faktor Internal.
Sebab internal adalah sebab prilaku individu yang timbulnya dari dalam kondisi dalam anak itu sendiri yang disebabkan oleh :
1. Perasaan rendah diri
Perasaan diri tidak mampu dan takut akan selalu gagal membuat siswa tidak percaya diri dengan segala yang dilakukannya. Ia tidak ingin malu, merasa tidak berharga, serta dicemooh sebagai dan diejek dari kegagalan nya. Perasan rendah diri tidak selalu muncul pada setiap mata pelajaran. Terkadang ia merasa tidak mampu dengan mata pelajaran matematika, tetapi ia mampu pada mata pelajaran biologi. Pada mata pelajaran yang ia tidak suka, ia cenderung berusaha untuk menghindarinya, sehingga ia akan pilih-pilih jika akan masuk sekolah.
Sementara itu siswa tidak menyadari bahwa dengan tidak masuk sekolah justru membuat dirinya ketinggalan materi pelajaran. Melarikan diri dari masalah malah akan menambah masalah
2. Perasaan Termarginalkan.
Perasaan tersisihkan tentu tidak diinginkan semua orang. Tetapi kadang rasa itu muncul tanpa kita inginkan. Seringkali anak dibuat merasa bahwa ia tidak diinginkan atau diterima di kelasnya. Perasaan ini bisa berasal dari teman sekelas atau mungkin gurunya sendiri dengan sindiran atau ucapan. Siswa yang ditolak oleh teman-teman sekelasnya, akan merasa lebih aman berada di rumah. Ada siswa yang tidak masuk sekolah karena takut oleh ancaman temannya. Ada juga yang diacuhkan oleh teman-temannya, ia tidak diajak bermain, atau mengobrol bersama. Penolakan siswa terhadap siswa lain dapat disebabkan oleh faktor tertentu, misalnya faktor SARA.

b. Faktor Eksternal.
Sebab eksternal adalah sebab-sebab yang timbul dari luar diri seseorang. Sebab eksternal ini berpangkal dari keluarga, lingkungan sosial dan sekolah
1. Faktor keluarga.
Lingkungan keluarga adalah lingkungan yang pertama kali di kenal oleh anak. Anak mulai menerima nilai-nilai baru dari dalam keluarga dan dari keluarga inilah anak mulai mensosialisasikan diri. Lingkungan keluarga diakui oleh semua ahli pendidikan maupun psikologi sebagai lingkungan yang sangat menentukan bagi perkembagan anak selanjutnya.  Pola asuh yang keliru dapat m

Mengembangkan interaksi guru dan siswa yang baik

Proses pembelajaran akan efektif, jika komunikasi dan interaksi antara guru dengan siswa terjadi secara intensif. Guru dapat merancang model-model pembelajaran sehingga siswa dapat belajar secara optimal. Guru mempunyai peran ganda dan sangat strategis dalam kaitannya dengan kebutuhan siswa. Peran dimaksudkan adalah guru sebagai guru, guru sebagai orang tua, dan guru sebagai sejawat belajar.
Proses pembelajaran akan efektif, jika komunikasi dan interaksi antara guru dengan siswa terjadi secara intensif. Guru dapat merancang model-model pembelajaran sehingga siswa  dapat belajar secara optimal. Guru mempunyai peran ganda dan sangat strategis dalam kaitannya dengan kebutuhan siswa. Peran dimaksudkan adalah guru sebagai guru, guru sebagai orang tua, dan guru sebagai sejawat belajar.
1. Guru sebagai guru.
Pekerjaan utama guru adalah mengajar dan mendidik siswa siswa, yang berusaha agar semua siswanya mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang diajarkan dengan baik.
2. Guru sebagai orang tua.
Tempat mencurahkan segala perasaan siswa, tempat mengadu siswa ketika mengalami gangguan. Siswa merasa aman dan nyaman ketika dekat dengan guru, bahkan merasa rindu jika tidak bertemu guru. Interaksi guru dan siswa bagaikan hubungan orang tua dan anak, hangat, akrab, harmonis, dan tulus.
3. Guru sebagai teman.
Sebagai pasangan untuk berbagai pengalaman dan beradu argumentasi dalam diskusi secara informal. Guru tidak merasa direndahkan jika siswa tidak sependapat, atau memang pendapat siswa yang benar, dan menerima saran siswa murid yang masuk akal. Hubungan guru dan siswa mengutamakan nilai-nilai demokratis dalam proses pembelajaran.

KURIKULUM BARU TUNTAS AKHIR TAHUN 2012

Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wamendikbud) Musliar Kasim menyebutkan, pembahasan dan penyusunan kurikulum pendidikan yang baru telah mencapai 25 persen dan dijadwalkan tuntas pada akhir 2012. "Proses penyusunan kurikulum terus dilakukan, saat ini sudah mencapai 25 persen. Akhir 2012 dipastikan sudah rampung," kata Wamendikbud di sela-sela pembukaan TOT Pembentukan Karakter pada Guru dan Kepala Sekolah di Bandung, Minggu (21/10/2012). Tahun depan sudah ada buku dan penataan di beberapa sektor sehingga bisa digulirkan pada tahun ajaran baru 2013. Meski demikian, dalam prosesnya masih terus menyerap aspirasi dan masukan dari masyarakat, pakar, dan juga dari beberapa stakeholder pendidikan di Indonesia. Salah satunya yang mendapat respons dari masyarakat adalah terkait penyederhanaan kurikulum, termasuk melakukan pemadatan pada mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. "Penyederhanaan kurikulum menjadi salah satu yang mendapat respons cukup signifikan, termasuk adanya pengurangan mata pelajaran seperti di tingkat SD," katanya. Hal itu untuk merespons adanya pendapat yang menyebutkan bahwa anak dijejali banyak pelajaran sehingga dilakukan penyesuaian dalam kurikulum baru. Musliar mencontohkan, dalam kurikulum baru untuk tingkat SD diwacanakan hanya ada enam mata pelajaran, yakni Agama, PPKN, Bahasa Indonesia, Matematika, Seni Budaya, serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. "IPA tidak ada, dalam kurikulum baru ilmu pengetahuan akan diintegrasikan dengan pelajaran lain, termasuk salah satunya ilmu bahasa dikemas dalam konteks yang lebih menarik," katanya. Penjaskes juga diintegrasikan dengan penerapan nilai dan karakter, mendorong kerja keras dan cinta Tanah Air. "Ini kesempatan menata kurikulum, jangan sampai ada istilah siswa terbebani. Mereka bersekolah, tetapi tetap bisa menikmati masa kanak-kanak," kata Musliar. Dalam kurikulum baru, kata dia, peserta didik didorong untuk mengenali lingkungan sekitarnya dan potensi masing-masing. Di sisi lain, kata Wamendikbud, model implementasinya juga masih akan dibahas kembali. "Implementasinya belum disepakati, untuk tingkatan SD hingga perguruan tinggi, apakah ploting-nya di sekolah kabupaten atau provinsi. Masih akan disusun dan disepakati. Saya sendiri tidak sabar menunggu 2013, seperti apa sekolah-sekolah menerapkan kurikulum baru itu," kata Wamendikbud.

fcbarca: Brazilian goalkeeper score a goal in the last minu...

fcbarca: Brazilian goalkeeper score a goal in the last minu...: La incorporación de Neymar al FC Barcelona, ​​centro de constantes rumores desde hace meses, cobra cada vez más fuerza. Una prueba d...

Jumat, 26 Oktober 2012

JADWAL SUSUNAN ACARA SEREN TAUN 2012,CIGUGUR-KUNINGAN

Penghujung tahun 1945 saka sudah di depan mata,seperti biasa tradisi UPACARA ADAT SEREN TAUN akan diadakan oleh masyarakat Cigugur -Kuningan pada penghujung tahun yakni pada bulan Rayagung ini. Adapun puncak acara seren taun tersebut jatuh pada tanggal 22 Rayagung 1945 SAKA, atau tanggal 07 November 2012 pada penanggalan Masehi.
Berikut ini adalah JADWAL SUSUNAN ACARA SEREN TAUN 2012,CIGUGUR-KUNINGAN

Susunan Acara Upacara Adat Seren Taun 2012


No
Hari, Tanggal
Waktu
Acara
Tempat
1.
Jum'at, 02 Nov 2012 18.30 - 19.00 Damar Sewu Halaman Gedung Paseban
19.00 - 19.30 Karinding Kontemporer Taman Sari Paseban
19.30 - 20.15 Pentas Seni STSI Taman Sari Paseban
2.
Sabtu, 03 Nov 2012 08.30 - 09.30 Pesta Dadung Situ Hyang
09.30 - 09.45 Pembuangan Hama Situ Hyang
09.45 - 10.00 Penanaman Hama Situ Hyang
10.00 - 10.30 Seribu Kentongan Situ Hyang - Paseban
10.30 - 11.00 Gending Pangbage Taman Sari Paseban
13.30 - 15.30 Pasanggiri Pupuh Tingkat SD se-Kecamatan Cigugur Aula SMP Tri Mulya Cigugur
13.30 - 15.30 Lomba Menggambar dan Mewarnai (Anak) Taman Sari Paseban
15.30 - 16.00 Tari Tani Anak Taman Sari Paseban
16.00 - 16.30 Kaulinan Barudak Taman Sari Paseban
16.30 - 17.00 Pengumuman Hasil Lomba Menggambar dan Mewarnai Taman Sari Paseban
19.30 - 21.00 Pentas Kesenian Anak Taman Sari Paseban
3. Minggu, 04 Nov 2012 08.00 - 10.30 Lomba Panahan Tradisional Lapangan Sepak Bola Cigugur
08.00 - 12.00 Pengobatan Gratis Dari RS. Sekar Kamulyan Cigugur Taman Sari Paseban
11.00 - 13.00 Lomba Permainan Tradisional Egrang (Patikluk) Lapangan Sepak Bola Cigugur
14.00 - 16.00 Lomba Nyiblung, Datung Buyung, Ngukuy Artos Kolam Cigugur
19.00 - 23.00 Pagelaran Seni Purwawirahma Taman Sari Paseban
4. Senin, 05 Nov 2012 08.00 - 12.00 Pengobatan Geratis dari RSU Kuningan Medical Center Taman Sari Paseban
09.00 - 11.00 Pelatihan Tata Rias Aula SMP Tri Mulya Cigugur
10.00 - 12.00 Workshop Iket Taman Sari Paseban
19.30 - 21.00 Pentas Kesenian Klasik Khas Daerah Kuningan Taman Sari Paseban
21.00 - 21.30 Tari Lenyapan Bapa-Bapa Taman Sari Paseban
5. Selasa, 06 Nov 2012 08.30-10.00 Dialog Masyarakat Adat Gedung Paseban
14.00-17.00 Helaran Budaya Cigugur - Kuningan Kota
19.20-19.50 Doa Bersama Gedung Paseban
19.50-21.30 Kidung Spiritual Gedung Paseban
21.30-22.30 Gelar Pusaka Monggang Gedung Paseban
22.30-23.00 Tari Pwah Aci Gedung Paseban
23.00-23.30 Ngareremokeun Gedung Paseban
6. Rabu, 07 Nov 2012 08.00-16.00 Puncak Acara Seren Taun 22 Rayagung 1945 Saka
Tari Buyung Halaman Gedung Paseban
Angklung Kanekes Halaman Gedung Paseban
Angklung Buncis Halaman Gedung Paseban
Ngajayak Halaman Gedung Paseban
Sambutan - sambutan Gedung Paseban
Rajah Pamuka Gedung Paseban
Penumbukan Padi Saung Panutuan
20.00 - selesai Wayang Golek dari Buleud Garut Taman Sari Paseban
*) Acara sewaktu-waktu dapat berubah
Bagi anda yang berminat hadir untuk mengikuti acara ini anda dapat datang kelokasi acara  di GEDUNG CAGAR BUDAYA NASIONAL  PASEBAN 351 CIGUGUR-KUNINGAN
Semoga informasi ini dapat bermanfaat bagi sahabat-sahabat pengunjung blog ini

Senin, 22 Oktober 2012

Cara Membuat Headline Artikel Di Beranda Blog


Secara default, Blogger memberikan model yang sama untuk bidang artikel yang tampilkan pada halaman beranda (versi web maupun versi seluler). Namun apabila kita membuka berbagai situs web atau portal berita, maka kita akan mendapati adanya headline yang digunakan untuk menampilkan berita terbaru atau berita yang menjadi sorotan  seperti yang digunakan pada blog ini untuk tampilan versi web maupun versi seluler.
Sedikit cerita tentang hal tersebut, kebetulan beberapa waktu yang lalu ada seorang sahabat yang bertanya mengenai cara membuat headline seperti yang tampak pada gambar di atas atau seperti yang biasa digunakan pada berbagai situs web atau portal berita. Nah, untuk keperluan membuat headline artikel di beranda blog tampilan versi mobile, maka Anda dapat mengerjakan langkah-langkah berikut ini secara berurutan.

Pertama, buka editor template dengan cara mengeklik menu ‘Template’ > ‘Edit HTML’ > ‘Lanjutkan’ > ‘Expand Template Widget’.
Kedua, cari kode <b:include data='post' name='mobile-index-post'/> dan kemudian hapus kode tersebut lalu ganti dengan kode di bawah ini.
<b:if cond='data:post.isFirstPost == &quot;true&quot;'>
<!-- newer post -->
<b:include data='post' name='mobile-index-post'/>
<b:else/>
<!-- older post -->
<b:include data='post' name='older-mobile-index-post'/>
</b:if>
Ketiga, cari kode <b:includable id='mobile-index-post' var='post'> dan kemudian hapus seluruh rangkaian kode untuk bagian tersebut sampai dengan kode </b:includable>, seperti yang tampak pada contoh rangkaian kode di bawah ini.
<b:includable id='mobile-index-post' var='post'>   <!--- hapus dari sini --->
<div class='mobile-date-outer date-outer'>
---- rangkaian kode ----
</div>
</b:includable>   <!--- hapus sampai sini --->
Kemudian pada bagian kode yang dihapus tersebut, sisipkan rangkaian kode di bawah ini.
<b:includable id='mobile-index-post' var='post'>
<div class='mobile-date-outer date-outer'>
<div class='mobile-post-outer'>
<a expr:href='data:post.url'>
<h3 class='mobile-index-title entry-title'>
<b><data:post.title/></b>
</h3>
</a>

<div class='mobile-index-contents'>
<b:if cond='data:post.thumbnailUrl'>
<div class='mobile-index-thumbnail'>
<div class='Image' style='float:left; '>
<div style='float: left; width:80px; height:80px; margin-right:4px; border: 1px solid #666666;'>
<img expr:src='data:post.thumbnailUrl' style='width:80px !important; height:80px !important;'/>
</div>
</div>
</div>
<b:else/>
<div style='float: left; width:80px; height:80px; margin-right:4px; border: 1px solid #666666;'>
<img alt='eltelu' src='https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghXQZ-AT_zSjD1Tk8xx7NrWwDPDl9RcG51Cvwm3mXqzLLZfXBFw6_JvK6unRTa7sIVoQ1QPIjug4IZyvVlqVroRSsgm8NRQpimpSi1sYvUrFAoQaSVp7HwOQlNiHBWLv6gQGuNxO0hJ5k/s800/ELTELU.png' style='width: 80px !important; height: 80px !important;'/>
</div>
</b:if>

<div class='post-body'>
<div align='justify'>
<b:if cond='data:post.snippet'><data:post.snippet/></b:if>
</div>
</div>
</div>
<div style='clear: both;'/>

<div class='mobile-index-comment'>
<b:if cond='data:blog.pageType != &quot;static_page&quot;'>
<b:if cond='data:post.allowComments'>
<b:if cond='data:post.numComments == 0'>
<a expr:href='data:post.url'>0 <data:top.commentLabel/></a>
</b:if>
<b:if cond='data:post.numComments != 0'>
<a class='comment-link' expr:href='data:post.addCommentUrl' expr:onclick='data:post.addCommentOnclick'><b:if cond='data:post.numComments == 1'>1 <data:top.commentLabel/><b:else/><data:post.numComments/> <data:top.commentLabelPlural/></b:if></a>
</b:if>
</b:if>
</b:if>
</div>
</div>
</div>
</b:includable>


<b:includable id='older-mobile-index-post' var='post'>
<div class='mobile-date-outer date-outer'>
<div class='mobile-post-outer'>
<a expr:href='data:post.url'>
<h3 class='mobile-index-title entry-title'>
<div class='mobile-bingkai-judul'>
<b><data:post.title/></b>
</div>
</h3>
</a>

<div class='mobile-index-comment'>
<b:if cond='data:blog.pageType != &quot;static_page&quot;'>
<b:if cond='data:post.allowComments'>
<b:if cond='data:post.numComments == 0'>
<a expr:href='data:post.url'>0 <data:top.commentLabel/></a>
</b:if>
<b:if cond='data:post.numComments != 0'>
<a class='comment-link' expr:href='data:post.addCommentUrl' expr:onclick='data:post.addCommentOnclick'><b:if cond='data:post.numComments == 1'>1 <data:top.commentLabel/><b:else/><data:post.numComments/> <data:top.commentLabelPlural/></b:if></a>
</b:if>
</b:if>
</b:if>
</div>
</div>
</div>
</b:includable>
Keterangan:
Ganti URL gambar yang terdapat dalam kode <img alt='eltelu' src='https:…. dengan URL gambar yang akan digunakan dan ditampilkan pada headline apabila tidak terdapat gambar dalam artikel yang dimaksud. 
Keempat, simpan template.

Sehingga apabila sebelumnya Anda telah melakukan kustomisasi pada template untuk tampilan versi seluler, maka ketika blog Anda dibuka dengan menggunakan perangkat seluler, tampilannya adalah seperti yang tampak pada gambar di atas. Sedangkan apabila Anda masih menggunakan desain tampilan versi seluler default yang disediakan oleh Blogger, maka ketika blog Anda dibuka dengan menggunakan perangkat seluler, tampilannya adalah seperti yang tampak pada gambar di bawah ini.
ELTELU - Contoh Headline Artikel Pada Tampilan Default Versi Mobile
Lantas, bagaimana caranya untuk membuat headline artikel di beranda blog untuk tampilan versi web? Terkait dengan hal tersebut, akan saya uraikan dalam artikel yang terpisah atau pada artikel yang berikutnya.
Semoga berguna dan bermanfaat.
Salam.

MEMAHAMI KARAKTERISTIK PSIKOLOGIS ANAK


Para guru di Indonesia belum banyak memahami karakteristik psikologi anak. Mayoritas guru di sekolah lebih mengacu pada karakteristik visual dan auditorial, sehingga anak yang berkarakter kinestetik tidak terangkul secara maksimal dalam mencerna pelajaran.
Guru-guru di Indonesia belum dikomunikasikan untuk menangani kriteria anak. Kasihan, karena mereka itu memiliki karakteristik yang unik. Tidak fair jika kita menghadapi mereka dengan cara yang sama.
-- Linda Saptadji
"Guru-guru di Indonesia belum dikomunikasikan untuk menangani kriteria anak. Kasihan anak-anak, karena mereka itu kan memiliki karakteristik yang unik. Tidak fair jika kita menghadapi mereka dengan cara yang sama," ungkap Linda Saptadji, psikolog yang berkecimpung di Yayasan Anak Indonesia Suka Baca, di Jakarta, Kamis (28/6/2012).
Linda mengatakan, karakteristik anak memang menjadi tantangan bagi dunia pendidikan saat ini, khususnya anak-anak yang memiliki karakter kinestetik. Guru selalu menganggap mereka sebagai anak nakal karena banyak melakukan gerakan.
Linda melanjutkan, anak kinestetik memiliki problema dalam menangkap pelajaran. Mereka sulit untuk membaca.
"Masalah terbesarnya ada di sekolah. Tidak semua pelajaran memiliki sesi praktik, sehingga harus ada usaha lebih untuk bisa menerjemahhkan pengetahuan yang guru berikan dalam bentuk praktik," ungkap Linda.
Linda mengaku sangat menyayangkan, bahwa tidak semua ilmu di sekolah memberikan materi praktik. Akibatnya, anak-anak kinestetik belajar dengan cara-cara motorik. Bahkan, lanjut dia, anak kinestetik jika kebutuhannya tidak terakomodir akan melakukan cara-cara visual untuk bisa memahami masalahnya.
Pengaruh lingkungan
Linda menyarankan, ketiga unsur karakteristik anak harus dirangkum dalam metode mengajar. Pada dasarnya, setiap orang memiliki tiga unsur karakteristik, tetapi ada salah satu yang lebih menonjol.
"Karakter seseorang juga bisa berubah karena pengaruh lingkungan," ujar Linda.
Menurut Linda, guru-guru saat ini dituntut untuk berpikir out of the box. Guru juga diminta untuk mencari strategi baru dalam mengajar dan mendidik perkembangan anak-anak didiknya.
"Pendidikan kan berkembang, teori-teori pendidikan juga berkembang. Anak-anak pun berkembang, tantangan juga semakin banyak," tambah Linda.
Bagi Linda, mind mapping merupakan cara paling efektif untuk meningkatkan kualitas anak didik yang memiliki beragam karakteristik. Tony buzan, konsultan pendidikan melakukan sesuatu yang sangat luar biasa untuk dunia pendidikkan melalui metode mind mapping ini.
"Karena pada saat mapping terserah anak mau menulis apa dan mereka mempertanggungjawabkan apa yang mereka tulis," kata Linda.

Bagaimana Mengoptimalkan Potensi Anak


Pemerintah Kota Yogyakarta melalui dinas pendidikannya membuat gebrakan baru dengan program pendidikan anak genius.
Calon siswa sekolah dasar (SD) yang memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata, atau yang disebut sebagai cerdas istimewa, diikutsertakan dalam program ini untuk diberi pelayanan pendidikan yang istimewa, antara lain dengan diberi pendampingan oleh guru pendamping khusus.
Apakah ada syarat khusus untuk dapat menembus program baru itu? Tentu ada! Salah satu syarat: calon siswa SD sudah mendapat rekomendasi dari psikolog terkait dengan kecerdasannya. Adapun lembaga yang dipercaya mengeluarkan surat rekomendasi itu adalah Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta.
Terlepas dari sejauh mana tingkat keberhasilannya nanti, kita perlu memberi apresiasi kepada Pemkot Yogyakarta yang berani menyelenggarakan program pendidikan anak genius.
Realitasnya tak ada pemerintah kabupaten/kota di Indonesia yang berani menyelenggarakan program serupa untuk satuan SD. Kalaupun ada, bisa dihitung dengan jari jumlahnya.
Tiga pendekatan
Anak genius adalah anak yang memiliki tingkat kecerdasan luar biasa. Kecerdasan itu sendiri merupakan kemampuan mental yang dibawa semenjak lahir untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan memecahkan masalah.
Dalam dunia psikologi pendidikan, ada beberapa terminologi yang dipakai untuk menyebut anak genius, antara lain genius children, gifted children, exceptional gifted children, hoogbegaafd, talented children, bright children, high ability, superior, supernormal.
Pakar psikologi menyatakan, kegeniusan anak bisa diukur dengan tes IQ. Anak yang memiliki IQ di atas 140 baru layak disebut sebagai anak genius.
Setidak-tidaknya terdapat tiga pendekatan untuk mendidik anak genius, masing-masing adalah pendekatan pengayaan, pendekatan percepatan, dan pendekatan pengelompokan.
Pendekatan pengayaan ditempuh dengan penyediaan kesempatan dan fasilitas belajar tambahan yang bersifat vertikal (intensif, pendalaman) dan horizontal (ekstensif, perluasan). Pengayaan diberikan setelah anak genius menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya dan siswa di kelasnya.
Praktiknya nanti, anak genius yang menjadi siswa SD dapat diberi tugas perpustakaan, belajar bebas, mempelajari kasus tertentu, dan sebagainya.
Pendekatan percepatan dapat ditempuh dengan memperbolehkan anak genius menyelesaikan program reguler sebelum waktunya. Praktiknya nanti anak genius yang menjadi siswa SD bisa naik kelas secara meloncat, naik kelas sebelum masa akhir tahun tiba, atau merangkap kelas misalnya di kelas II dan III atau kelas IV dan V sekaligus.
Pendekatan pengelompokan dapat ditempuh dengan mengelompokkan anak-anak genius jadi satu dan menerima pembelajaran khusus. Praktiknya nanti, anak-anak genius bisa dikelompokkan ke dalam sekolah atau SD khusus, atau ke dalam kelas khusus di suatu SD, atau tetap saja berbaur dengan siswa lain tetapi terjadwal pertemuan khusus.
Dua faktor
Kesuksesan mendidik anak genius setidak-tidaknya ditentu- kan dua faktor yang tidak dapat saling dipisahkan: guru pendamping dan manajemen kelas.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan program pendidikan anak genius di Kota Yogyakarta, sepertinya dinas pendidikan sudah menyiapkan guru pendamping khusus. Kalau benar, ini merupakan langkah strategis untuk merealisasi program: pasalnya, mencari guru pendamping khusus anak genius bukan merupakan pekerjaan mudah.
Seorang guru pendamping anak genius atau guru pendamping khusus di samping harus cerdas juga dituntut kreatif dan memiliki pengalaman mendidik anak cerdas dan/atau anak genius. Praktiknya nanti, tidak sembarang guru SD bisa mendampingi siswanya yang genius. Di sisi lain, guru pendamping khusus anak genius di SD dimungkinkan sebagian justru bukan guru SD.
Faktor kedua menyangkut manajemen kelas yang berpotensi menjadi masalah rumit untuk mengelola anak genius. Kalau dalam satu kelas di SD nanti ada empat anak genius saja, misalnya, jangan pernah dibayangkan bahwa keempat anak tersebut memiliki potensi, keinginan, minat dan kemampuan yang sama. Bisa jadi anak yang satu ingin ke timur, sedangkan ketiga yang lain ingin ke barat, ke utara, dan ke selatan.
Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta menginformasikan bahwa pendidikan anak genius nantinya akan dilakukan secara inklusif. Artinya, anak-anak genius nantinya akan dibaurkan menjadi satu dengan siswa-siswa lain.
Kiranya perlu diingat bahwa mendidik anak genius secara inklusif (berbaur) ini tidak lebih mudah dibandingkan dengan eksklusif (khusus) karena semua perlakuan terhadap anak genius harus mempertimbangkan perlakuan terhadap siswa lainnya: soal waktu, soal tempat, soal suasana, soal materi, dan sebagainya.
Kita doakan saja penyelenggaraan pendidikan anak genius nantinya akan berhasil dan bermanfaat untuk kita.